Sabtu, 08 November 2014

RABI'AH ADAWIYAH


Tuhanku, tenggelamkan aku dalam samudera cintaMu….
A. Biografi Rabi’ah Al Adawiyah
Rabi’ah Al Adawiyah memiliki nama asli Rabi’ah Al Adawiyah binti Ismail al Adawiyah al Bashriyah. Ia
diberi nama oleh orang tuanya Rabi’ah karena merupakan anak ke empat dari empat bersaudara.
Dalam bahasa Arab rabi’ah artinya ke empat. Rabi’ah lahir di kota Basrah tahun 94 H dan meninggal
sekitar tahun 185 H serta dimakamkan di tempat itu juga.

Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Dia lahir
dalam sebuah keluarga yang miskin dari segi kebendaan namun kaya dengan peribadatan kepada Allah.
Ayahnya hanya bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan
sampan.
Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah
yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan
orang ramai berlumba-lumba mencari kekayaan. Justeru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas.
Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai
tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
Namun begitu, Allah telah memelihara sebilangan kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam
fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang
dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri dari para lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan
masa dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafsu demi
mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat.
Bapa Rabi’ah merupakan hamba yang sangat bertaqwa, tersingkir daripada kemewahan dunia dan
tidak pernah letih bersyukur kepada Allah. Dia mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang
berjiwa bersih. Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata. Natijahnya
Rabi’ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi al-Quran sehigga berjaya menghafal
kandungan al-Quran. Sejak kecil lagi Rabi’ah sememangnya berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang
tinggi serta keimanan yang mendalam.
Menjelang kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit. Keadaan itu semakin buruk setelah
beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Rabi’ah juga tidak terkecuali daripada ujian yang bertujuan
membuktikan keteguhan iman. Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam kancah
maksiat. Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan asas keimanan yang belum padam di hatinya,
dia dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat. Babak-babak taubat inilah yang mungkin
dapat menyadar serta mendorong hati kita merasai cara yang sepatutnya seorang hamba bergantung
harap kepada belas ihsan Tuhannya.
Begitulah keadaan kehidupan Rabi’ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta
kecintaan kepada-Nya. Rabi’ah meninggal dunia pada 135 Hijrah iaitu ketika usianya menjangkau 80
tahun. Moga-moga Allah meridhoinya, amin!
.
B. Konsep Ajaran Rabi’ah al Adawiyah
Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang
(maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah
al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi
penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi
banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan
Diwan-i Syam-I Tabriz.
Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak
dibahas oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat
yang terdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak lain
adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk
mencapai ridla Allah dalam beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam
al-Ghazali misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya
merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan
kepuasan hati (ridla)”.
Rabi’ah telah mencapai puncak dari maqam itu, yakni Mahabbahtullah. Untuk menjelaskan bagaimana
Cinta Rabi’ah kepada Allah, tampaknya agak sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan kata
lain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik melalui kata-kata maupun
simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda pendapat untuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab,
pendefinisian Cinta Ilahi lebih didasarkan kepada perbedaan pengalaman spiritual yang dialami oleh
para sufi dalam menempuh perjalanan ruhaninya kepada Sang Khalik. Cinta Rabi’ah adalah Cinta
spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau Cinta yang lain. Ibnu Qayyim
al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian:
1. Mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau
mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga
mencintai Allah.
2. Mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah
masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat
dengan cinta ini.
3. Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang
dicintai Allah.
4. Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan
untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang
musyrik.
Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan hanya Cinta
kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain
bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada di jalan Allah.
Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak
tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah
engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya.
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan
pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada
maksud dan tujuan apa pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang
diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan
al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk
surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut
neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata.
Rabi’ah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai
Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keredaan Allah. Rabi’ah
telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia
sentiasa meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.
Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan
ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu
melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui
seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada
Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu,
Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia
pun Cinta kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dia mencintai mereka dan mereka
mencintai-Nya” (QS. 5: 59).
C. Karya-Karya Rabi’ah al Adawiyah
Syair Rabi’ah Al Adawiyah
 Tuhanku, tenggelamkan aku dalam samudera cintaMu
Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpaMu
Tuhanku, bintang-gemintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup
Tuhanku, demikian malampun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku Kau Terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau Tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mua
Inilah yang akan selalu ku lakukan
Selama Kau Beri aku kehidupan
Demi kemanusiaan-Mu,
Andai Kau Usir aku dari pintuMu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku padaMu sepenuh kalb
 Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuhMu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabatMu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku
 Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku padaNya
Ya Allah, jika aku menyembahMu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembahMu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembahMu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
 Yang abadi padaku
.
 Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
Kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa denganMu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakana
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki
.
 Aku mencintaiMu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diriMu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingatMu
Cinta karena diriMu, adalah keadaanMu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
BagiMu pujian untuk semua itu
.
 Buah hatiku, hanya Engkau yang kukasihi
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiratMu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau
.
 Hatiku tenteram dan damai jika aku diam sendiri
Ketika Kekasih bersamaku
CintaNya padaku tak pernah terbagi
Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku
Kapan dapat kurenungi keindahanNya
Dia akan menjadi mihrabku
Dan rahasiaNya menjadi kiblatku
Bila aku mati karena cinta, sebelum terpuaskan
Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini
O, penawar jiwaku
Hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mauMu
Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan Mu
O, sukacita dan nyawaku, semoga kekallah
Jiwaku, Kaulah sumber hidupku
Dan dariMu jua birahiku berasal
Dari semua benda fana di dunia ini
Dariku telah tercerah
Hasratku adalah bersatu denganMu
Melabuhkan rindu
.
 Sendiri daku bersama Cintaku
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
Lintas dan penglihatan batin
Melimpahkan karunia atas doaku
Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain, sirna
Antara takjub atas keindahan dan keagunganNya
Dalam semerbak tiada tara
Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu
Ku saksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
Lihat, dalam wajahNya
Tercampur segenap pesona dan karunia
Seluruh keindahan menyatu
Dalam wajahNya yang sempurna
Lihat Dia, yang akan berkata
“Tiada Tuhan selain Dia, dan Dialah Yang maha Mulia.”
.
 Rasa riangku, rinduku, lindunganku,
Teman, penolong dan tujuanku,
Kaulah karibku, dan rindu padaMu
Meneguhkan daku
Apa bukan padaMu aku ini merindu
O, nyawa dan sahabatku
Aku remuk di rongga bumi ini
Telah banyak karunia Kau berikan
Telah banyak..
Namun tak ku butuh pahala
Pemberian ataupun pertolongan
CintaMu semata meliput
Rindu dan bahagiaku
Ia mengalir di mata kalbuku yang dahaga
Adapun di sisiMu aku telah tiada
Kau bikin dada kerontang ini meluas hijau
Kau adalah rasa riangku
Kau tegak dalam diriku
Jika akku telah memenuhiMu
O, rindu hatiku, aku pun bahagia
.
 Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.
.
D. Kisah Kezuhudan Rabi’ah al Adawiyah
Sebagaimana yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ah al-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak
memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan
yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian.
Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di
antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog dan
termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah.
Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah. Tapi lamaran itu ditolaknya dengan
mengatakan, “Wahai laki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan mereka.
Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”
Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin Sulaiman
al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah
sebagai istrinya, laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan juga
memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki pendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap
bulan. Tetapi dijawab oleh Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi
budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari Allah
meskipun hanya untuk beberapa saat.
Dalam kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat
sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk
menikah dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan, “Baiklah, aku akan
menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri
lah orangnya.” Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab
empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah,
dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
“Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat
kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang
Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”
“Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir
menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”
“Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul
Hisab) semua nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana
denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembali menjawab,
“Hanya Allah Yang Maha Tahu. “Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian
manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?”
Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui
semua rahasia yang tersembunyi itu.
Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan
tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya aku menghabiskan waktuku
dengannya?” Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup
indah.
Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja
yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering
jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas
tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:
Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia
berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:
Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi
bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk
menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula
Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih
jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan
sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan
jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam
sya’irnya Rabi’ah mengatakan:
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu..
KISAH 1
Ketika suami rabi’ah Adawiyah mati, beberapa waktu kemudian Hasan Al Basri dan kawan kawannya
datang menghadap Rabi’ah. Mereka meminta izin di perkenankan masuk, mereka di perkenankan
masuk. Rabi’ah segera mengenakan cadarnya, dan mengambil tempat duduk di balik tabir.
Hasan AlBasri mewakili kawan kawannya mengutarakan maksud kedatangannya. Ia
berkata : ”Suamimu telah tiada, sekarang Kau sendirian. Kalau kmu menghendaki silahkan memilih
salah seorang dari kami. Mereka ini orang orang yang ahli zuhud”.
Jawab Rabi’ah Adawiyah: ”ya, aku suka saja mendapat kemuliaan ini. Namun aku hendak menguji
kalian, siapa yang paling ‘alim (pandai) diantara kalian itulah yang menjadi suamiku”.
Hasan Al Basri dan kawan kawannya menyanggupi. Kemudian Rabi’ah Adawiyah bertanya: ”Jawablah
empat pertanyaanku ini kalau bisa aku siap di peristri oleh kamu”.
Hasan Al Basri berkata : ”Silahkan bertanya, kalau Allah memberi pertolongan aku mampu menjawab
tentu aku jawab”.
“Bagaimana pendapatmu kalau aku mati kelak, kematianku dalam muslim (husnul khatimah) atau
dalam keadaan kafir(suul khatimah)”. kata Rabi’ah bertanya.
Jawab Hasan Al basri : ”Yang kau tanyakan itu hal yang ghaib, mana aku tahu. . ”
“Bagaimana pendapatmu, kalau nanti aku sudah di masukkan kedalam kubur dan mungkar-nakir
bertanya kepadaku, apakah aku sanggup menjawab atau tidak. . ”
“Itu persoalan ghaib lagi”. Jawab Hasan Al Basri.
Kalau seluruh manusia di giring di MAUQIF (padang mahsyar) pada hari kiamat kelak, dan buku buku
catatan amal yang dilakukan oleh malaikat HAFAZHAH beterbangan dari tempat penyimpanannya di
bawah ‘arsy. Kemudian buku buku catatan itu di berikan kepada pemiliknya. Sebagian ada yang melalui
tangan kanan saat menerima dan sebagian lagi ada yang lewat tangan kiri dalam menerimanya.
Apakah aku termasuk orang yang menerimanya dengan tangan kanan atau tangan kiri. . ?, tanya
Rabi’ah.
“Lagi lagi yang kau tanyakan hal yang ghaib”, jawab Hasan Al Basri.
Tanya Rabi’ah sekali lagi: Manakala pada hari kiamat terdengar pengumuman bahwa, sebagian
manusia masuk surga dan sebagian yang lain masuk neraka, apakah aku termasuk ahli syurga atau ahli
neraka. . ?
“Pertanyaanmu yang ini juga termasuk persoalan yang ghaib”, jawab Hasan Al basri.
Rabi’ah berkata : Bagaimana orang yang mempunyai perhatian kuat terhadap empat persoalan itu
masih sempat memikirkan nikah. . ?
Coba perhatikanlah kisah dialog tersebut. Betapa besar perasaan takut Rabi’ah Adawiyah terhadap
persoalan itu. Kendati ia seorang sholehah. namun masih diikuti perasaan takut yang luar biasa jika
akhir hayatnya tidak baik.
Diceritakan bahwa, Rabi’ah Adawiyah itu mempunyai tingkah laku yang berubah ubah. Suatu ketika
perasaan cintanya kepada Allah begitu berat, hingga ia tidak sempat lagi berbuat apa-apa. Diwaktu
lain ia kelihatan tenang nampak seperti tidak ada masalah, dan lain waktu ia kelihatan sangat takut
dan cemas.
Suaminya menceritakan, suatu hari aku duduk sambil menikmati makanan. Sementara ia duduk di
sampingku dalam keadaan termenung lantaran di hantui peristiwa kiamat. Aku berkata :”Biarkan aku
sendirian menikmati makanan ini”.
Ia menjawab aku dan dirimu itu bukanlah termasuk orang yang dibuat susah dalam menyantap
makanan, lantaran mengingat akhirat”. Lebih lanjut Ia berkata: ”Demi Allah, sesungguhnya bukanlah
aku mencintaimu seperti kecintaannya orang yang bersuami istri pada umumnya. hanyalah
kecintaanku padamu sebagaimana kecintaan orang yang bersahabat”.
Kalau Rabi’ah Adawiyah memasak makanan, Ia berkata: ”Majikanku, makanlah masakan itu. Karena
tidak patut bagi badanku kecuali membaca tasbih saja”. (yang di maksud majikan adalah suami dari
Rabi’ah Adawiyah sendiri).
Hingga suatu hari Rabi’ah berkata pada suaminya: ”Tinggalkan diriku, silahkan kamu menikah lagi”. Hal
itu dikatakan ketika suaminya masih hidup. Maka Aku (suaminya) pun menikah lagi dengan tiga orang
perempuan. Saat itu Rabi’ah masih setia melayani keperluan suaminya, termasuk memasakkan
makanan. Suatu hari Rabi’ah Adawiyah memasakkan daging untuk suaminya, Ia
berkata: ”Tinggalkanlah diriku dengan membawa kekuatan yang baru menuju istri-istrimu yang lain”.
Dikisahkan bahwa Rabi’ah Adawiyah juga mempunyai sahabat sahabat yang lain dari bangsa jin, yang
sanggup mendatangkan apa saja yang di kehendakinya. Wali perempuan ini dalam kehidupannya
dikenal pula mempunyai berbagai kekeramatan hingga wafatnya. Di antara kekeramatannya adalah
bahwa pada suatu malam ada pencuri masuk menjarahi isi rumahnya. Ia sendiri masih terlelap tidur.
Ketika pencuri itu hendak keluar dengan menjinjing barang-barang yang telah di kemasi, mendadak
pintu rumahnya hilang semua. Pencuri itu lalu duduk disamping pintu yang di pandang semula belum
lenyap. Tiba tiba saat itu terdengar suara halus menyapanya:”Letakkan barang -barang yanga kau
kemasi. Keluarlah dari pintu ini”.
Ia pun segera meletakkan barang-barang yang telah dikemasi. Mendadak pintu itu kelihatan lagi.
Begitu ia melihat pintu maka ia segera menyambar lagi barang-barang hasil curian tadi. Tiba-tiba pintu
itu hilang lagi seketika ia letakkan lagi barang hasil jarahannya. Pintu kelihatan lagi. Ia mengambil
kembali barang haasil jarahannya. Pintu hilang lagi. Dan begitu seterusnya.
Tiba-tiba terdengar lagi suara lembut menyapa :”Kalau Rabi’ah adawiyah tertidur, Tetapi Allah tidak
tertidur dan tidak pula terserang rasa kantuk”, maka ia pun sadar. barang barang yang di kemasinya
pun Ia tinggalkan, lalu ia pun keluar melalui pintu tadi.
KISAH 2
Ada suatu kisah yang menceritakan bahwasanya ketika rabiah sedang shalat disebuah pertapaan, ia
merasa lelah dan langsung tertidur. Disaat tertidur itulah masuk orang maling untuk mengambil cadar
rabiah. Setelah orang itu mengambil cadar rabiah, dan berkeinginan untuk keluar, maka saat itu jalan
keluar bagi si maling itu tertutup. Kemudian maling itu melepaskan cadar yang diambilnya, seketika itu
pulalah jalan keluar terbuka. Tapi kemudian maling itu kembali mengambil cadar rabiah, tapi jalan
keluar tertutup kembali. Tujuh kali perbuatan seperti itu diulangi oleh maling itu, kemudian
terdengarlah olehnya sebuah suara disudut pertapaan rabiah. “Hai manusia, tiada gunanya engkau
mencoba-coba, sudah bertahun-tahun rabiah mengabdi kepada Allah SWT. Sedangkan setan pun tak
berani menghampirinya. Tetapi betapakah seorang maling memiliki keberanian hendak mencuri
cadarnya. Pergilah dari sini hai manusia jahanam tiada gunanya engkau mencoba-cobanya lagi.
Kemudian ada satu kisah yang mungkin terkait dengan doa rabiah tersebut. Pada suatu saat rabiah
sedang sakit, ia dijenguk oleh abdul wahid amir dan shofyan at Tsauri. Tapi karena mereka menyegani
rabiah maka mereka tidak berani berkata dan menyapa rabiah. Lalu dimulailah oleh rabiah untuk
menyapa keduanya. “Engkaulah yang berkata duluan hai tsauri” kata Rabiah Lalu tsauri berkata “Jika
engkau berdoa, niscaya penderitaanmu akan hilang” Rabiah menjawab “Tidak tahukah engkau siapa
yang mengkehendaki aku menderita seperti ini? Bukankah Allah SWT? Tsauri pun membenarkanya
“ya” Rabiah berujar “ Betapa mungkin engkau mengetahui hal ini, menyuruhku untuk memohonkan
hal yang bertentangan dengan-NYA? Bukankah tidak baik kita menentang sahabat kita sendiri?
“apakah yang engkau inginkan rabiah?” Tanya at Tsauri “at Tsauri, engkau adalah seorang terpelajar!
Tapi kenapa engakau bertanya demikian. Demi kebesaran Allah” rabiah bertandas “telah dua belas aku
menginginkan buah kurma segar. Engkau tentu tahu bahwasanya di basrah buah korma sangat murah
harganya, tapi hingga saat ini aku belum pernah memakannya. Aku ini hanyalah hamba-NYA dan
apakah hak seorang hamba untuk menginginkan sesuatu? Jika aku menginginkan sesuatu sedangkan
Allah tidak menginginkanya, maka kafirlah aku. Engkau harus menginginkan segala sesuatu yang
diinginka-NYA semata-mata agar engkau dapat menjadi hamba-NYA yang sejati. Tapi lain lagi
persoalanya jika tuhan sendiri memberikanya.” Kemudian at tasuri terdiam dan berkata kepada rabiah
“ karena aku tidak dapat berbicara mengenaimu, maka engkaulah yang berbicara mengenai diriku”
Rabiah menjawab “engkau adalah manusia yang suka membacakan hadist dan engkau juga baik
kecuali dalam satu hal engkau mencintai dunia” At Tasuri pun tergugah hatinya dan berujar “Ya Allah,
kasihilah aku” Tapi rabiah menyindir “Tidak malukah engkau mengharapkan kasih Allah sedangkan
engkau sendiri tidak mengasihi-NYA.” Dari kisah tersebut kita dapat mengambil hikmah dari kecintaan
rabiah sebagai hambaNYA. Apa yang diinginkan manusia belum tentu diinginkan oleh NYA, tapi lain
halnya bila Allah SWT sendiri yang berkehendak atas keinginan NYA. Jika seorang manusia
menginginkan surga tetapi Allah SWT tidak menginginkan, apalah daya bagi manusia untuk
menentang keinginan-NYA.
KISAH 3
Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, "Saya ini
telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya
bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?" "Tidak!" jawab Rabiah dengan suara tegas.
Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya.Lelaki itu berkata, "Seandainya tiap butir
pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan,
baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan
menerima tobat saya?" "Pasti!" jawab Rabiah tak kalah tegas. Lalu ia menjelaskan, "Kalau Tuhan tidak
berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat?
Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata "akan”atau "andaikata" sebab hal itu akan merusak
ketulusan niatmu."
Memang ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka
yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, "Apa gunanya meminta ampun
kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar dari hati nurani?"
Barangkali lantaran ia telah mengalami kepahitan hidup sejak awal kehadirannya di dunia ini. Sebagai
anak keempat - itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. - bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup
sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan.
Tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail,
tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.Namun, karena saat itu sudah jauh
malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal
ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan.
Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira
menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja
dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. "Ya Allah!" seru Ismail, "Anakku, Rabiah, telah datang membawa
sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya." Lalu Ismail menggumam, "Amin." Tetapi berkas cahaya
yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail
tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud
dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang
Menciptakan Kehidupan.Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala
gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan
masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, "Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak
akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan
katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti
biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu
rakaat yang ditinggalkannya."
Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan,
penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap
malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada
Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada
malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi
perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya
cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau
mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.Tiap malam ia bermunajat kepada
Tuhan dengan doanya, "Wahai, Tuhanku. Di langit bintang-gemintang makin redup, berjuta pasang
mata telah terlelap, dan raja-raja sudah menutup pintu gerbang istananya. Begitu pula para pecinta
telah menyendiri bersama kekasihnya. Tetapi, aku kini bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan
cinta-Mu karena telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu."
Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup
seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun,
kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam
upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi
sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya,
maka ditinggalkannya semua itu.Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi
masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai salat isya, ia
terus berdiri mengerjakan salat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan, "Saksikanlah, seluruh umat
manusia sudah tertidur lelap, tetapi Rabiah yang berlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu.
Kumohon dengan sangat, tujukanlah pandangan-Mu kepada Rabiah agar ia tetap berada dalam
keadaan jaga demi pengabdiannya yang tuntas kepada-Mu."
Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan
khusyuk, "Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam
tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra
dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan
senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu."
Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun
segera berbisik, "Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan
sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan
gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang
menjadi saksi atas keesaan-Mu."
Tentang masa depannya ia pemah ditanya oleh Sufiyan at-Thawri: "Apakah engkau akan menikah
kelak?" Rabiah mengelak, "Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan.
Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah." "Bagaimanakah jalannya
sampai engkau mencapai martabat itu?""Karena telah kuberikan seluruh hidupku," ujar Rabiah.
"Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?" Dengan tulus Rabiah menjawab, "Sebab aku
tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages

Pages

Followers